Notification

×

Ibrahim dan Farhan Dinyatakan Terbukti Bersalah, MH : SOP Tidak Jelas Terkait Peran Senior dan Ini Kelalaian Terdakwa

Selasa, 06 Agustus 2024 | Agustus 06, 2024 WIB | 0 Views
CAMERAJURNALIS.COM, MAROS - Pemeriksaan perkara kematian Virendy Marjefy Wehantouw (19) yang mendudukkan 2 (dua) mahasiswa semester akhir di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas), yakni Muhammad Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir sebagai terdakwanya, Senin (05/08/2024) sore tuntas sudah di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Maros.

Majelis hakim (MH) diketuai Firdaus Zainal, SH, MH yang menyidangkan kasus terbunuhnya mahasiswa jurusan Arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar dan Orientasi Medan (Diksar & Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas pada Januari 2023, membacakan berkas putusan pidananya yang cukup tebal.

Dalam amar putusannya, hakim Firdaus dengan tegas menyatakan, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dakwaan Pasal 359 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, karena kelalaian atau kealpaannya menyebabkan putra seorang wartawan senior di Makassar ini menemui ajalnya.

Atas dasar itu, majelis hakim memutuskan menjatuhkan hukuman kepada kedua terdakwa dengan pidana 4 (empat) bulan penjara dikurangi masa tahanan yang telah dijalani. Keduanya juga harus membayar restitusi buat keluarga almarhum Virendy yang telah diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia (RI) sebesar Rp 118.040.000,-. 

Karena kedua terdakwa telah menyerahkan dana restitusi yang telah dititipkan ke Panitera PN Maros, majelis hakim kemudian memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyerahkan dana restitusi tersebut kepada keluarga almarhum Virendy dalam hal ini diwakili James Wehantouw (ayah kandung korban) setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Ganjaran hukuman yang lebih rendah dari tuntutan jaksa itu dijatuhkan majelis hakim dengan sederet pertimbangan hukum yang didasari fakta-fakta terungkap di persidangan, mulai dari keterangan saksi-saksi yang diberikan di bawah sumpah diantaranya keluarga almarhum Virendy, peserta dan panitia diksar, ahli forensik, ahli hukum pidana, hingga sejumlah barang bukti yang diajukan di persidangan.

Menurut hakim Firdaus Zainal yang segera pindah tugas sebagai Ketua PN Jeneponto, majelis hakim berpendapat, dalil hukum menyangkut penyakit bawaan yang dimiliki Virendy sebagaimana dikemukakan tim penasehat hukum dalam nota pembelaannya patut ditolak. Pertimbangannya, selama persidangan tidak ada bukti yang menunjukkan jika korban memiliki penyakit bawaan.

Kematian korban berdasarkan hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Grestelina dan hasil otopsi dokter forensik Biddokkes Polda Sulsel, selain luka-luka, lebam dan memar yang terdapat pada beberapa bagian tubuh Virendy diakibatkan benturan benda tumpul, juga disebabkan terjadinya kegagalan sirkulasi peredaran darah ke jantung karena adanya penyumbatan lemak. 

Bahkan keterangan saksi ahli, dokter Denny Mathius di persidangan menyebutkan penyumbatan lemak pada jantung dikarenakan adanya aktivitas fisik yang berlebihan dan juga karena pengaruh stress. Hal ini sesuai dengan pengakuan beberapa saksi yang menyebutkan saat Virendy sudah drop pada Kamis (12/01/2023) malam, tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepadanya.

Kamis malam itu ada brifing yang dipimpin senior-senior Mapala (alumni FT Unhas) diantaranya bernama Ilham, Bombom dan Teten yang melakukan evaluasi seputar kegiatan diksar itu dan juga membahas kondisi Virendy. Dalam brifing yang turut dihadiri kedua terdakwa, sesungguhnya Korpes (Koordinator Peserta) dan Korlap (Koordinator Lapangan) sudah menyarankan memulangkan Virendy.

Namun karena adanya peran dan keterlibatan senior yang menyatakan nanti dilihat besok bagaimana kondisi korban, sehingga tidak ada tindakan kedua terdakwa untuk menghentikan dan memulangkan Virendy. Keberadaan senior-senior yang mendominasi kegiatan diksar itu dan bahkan memberikan set (hukuman) kepada peserta, hal ini menunjukkan jika kedua terdakwa tidak mampu mengontrol tindak tanduk para seniornya.

Ketika Virendy sudah tumbang pada Kamis malam dan telah beristirahat malam hari di camp peserta, dinihari sekitar pukul 01.00 Wita seorang senior bernama Ilham memerintahkan membangunkan korban dan segera datang ke camp senior. Saat menghadap itulah senior mengambil alih dengan memberikan set (hukuman) sampai subuh pukul 04.00 Wita. Kemudian esok harinya, Jumat pagi pukul 08.00 Wita dibangunkan dan diberikan makanan, tetapi Virendy memuntahkannya, hanya air yang diminumnya.

Pagi itu perjalanan diksar kembali dilanjutkan hingga istirahat saat tiba waktunya sholat Jumat. Selesai sholat Jumat, perjalanan pun dilanjutkan. Namun akhirnya Virendy tumbang dan penanganannya diambil alih oleh senior. Bahkan seorang senior telah memerintahkan baju peserta yang dikenakan Virendy dibuka/dilepas dan menyatakan bahwa korban sudah bukan lagi peserta.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berkeyakinan tidak adanya SOP (Standar Operasional Prosedur) yang jelas menyangkut keterlibatan dan peran senior sehingga mereka bebas melakukan apa saja termasuk memberikan pendapat dan hukuman kepada peserta. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang memiliki SOP yang jelas. Peran dari senior-senior yang tidak terkontrol dan kurang hati-hatinya terdakwa telah menyebabkan Virendy meninggal dunia.

"Tidak adanya kehati-hatian terdakwa dalam melaksanakan diksar ini sudah tampak mulai dari pemeriksaan kesehatan sampai kegiatan berlangsung. Putusan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim bertujuan agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di tengah masyarakat. Ini juga menjadi pembelajaran bagi organisasi Mapala, institusi perguruan tinggi, dan masyarakat umum," tegas hakim Firdaus Zainal, SH, MH.

Terhadap putusan majelis hakim PN Maros yang mengadili perkara terbunuhnya cucu mantan Guru Besar Unhas yakni almarhum Prof. Dr. O.J. Wehantouw, MS ini, kedua terdakwa bersama penasehat hukumnya Muhammad Ilham Prawira, SH maupun jaksa penuntut umum Sofianto Dhio, SH menyatakan pikir-pikir dahulu sebelum menentukan sikap apakah menerima putusan tersebut atau akan melakukan upaya banding.

Sidang pembacaan putusan di ruang Cakra Gedung PN Maros yang tampak ramai dihadiri puluhan pengunjung, diantaranya beberapa wartawan media, mahasiswa Unhas, anggota UKM Mapala 09 FT Unhas, keluarga terdakwa, dan juga sejumlah keluarga serta kerabat almarhum Virendy ini, berlangsung lancar, tertib dan aman. 


(**)
×
Berita Terbaru Update